Allah

468x60 ads

RAHMAT ARIES BLOG'S



Sinetron, Tiket Celaka.!


Bagaimana hukumnya sandiwara (sinetron, film)?

Jawaban Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan Hafidzahullah

Sandiwara, saya katakan tidak boleh karena:

Pertama: Di dalamnya melalaikan orang yang hadir, mereka memperhatikan gerakan-gerakan pemain sandiwara dan mereka senang (tertawa). Di dalamnya mengandung unsur menyia-nyiakan waktu. Orang Islam akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap waktunya. Dia dituntut untuk memelihara dan mengambil faedah dari waktunya, untuk mengamalkan apa-apa yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla, sehingga manfaatnya kembali kepadanya baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana hadits Abu Barzah Al-Aslamy, dia berkata: Telah bersabda Rasulullah:
“Tidak bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sehingga ditanya tentang umurnya, untuk apa dia habiskan. Tentang hartanya darimana dia dapatkan, dan untuk apa dia infakkan. Tentang badannya untuk apa dia kerahkan…” (Dikeluarkan Al Imam At-Tirmidzi (2417) dan dia menshahihkannya)

Umumnya sandiwara itu dusta. Bisa jadi memberi pengaruh bagi orang yang hadir dan menyaksikan atau memikat perhatian mereka atau bahkan membuat mereka tertawa. Itu bagian dari cerita-cerita khayalan. Sungguh telah ada ancaman dari Rasulullah bagi orang yang berdusta untuk menertawakan manusia dengan ancaman yang keras. Yakni dari Muawiyah bin Haidah bahwasanya Rasulullah bersabda:

“Celaka bagi orang-orang yang berbicara (mengabarkan) sedangkan dia dusta (dalam pembicaraannya) supaya suatu kaum tertawa maka celakalah dia, celakalah bagi dia.” (Hadits hasan dikeluarkan oleh Hakim (I/46), Ahmad (V/35) dan At-Tirmidzi (2315))

Mengiringi hadits ini Asy-Syaikhul Islam berkata: “Sungguh Ibnu Mas’ud berkata: Sesungguhnya dusta itu tidak benar baik sungguh-sungguh maupun bercanda.”

Adapun apabila dusta itu menimbulkan permusuhan atas kaum muslimin dan membahayakan atas dien tentu lebih keras lagi larangannya. Bagaimanapun pelakunya yang menertawakan suatu kaum dengan kedustaan berhak mendapat hukuman secara syar’i yang bisa menghalangi dari perbuatannya itu.

[Dinukil dari Edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah hal. 84-93, Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan - http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=440]