Allah

468x60 ads

RAHMAT ARIES BLOG'S



Seputar Rambut Atau Bulu Yang Wajib Dibiarkan Dan Tidak Boleh Dihilangkan

Termasuk bentuk kesempurnaan penciptaan manusia, keberadaan rambut atau bulu di tubuhnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakannya tidak dengan sia-sia, namun mengandung hikmah atau manfaat, baik diketahui oleh manusia atau tidak. Rambut atau bulu yang tumbuh pada jasad manusia ada yang harus dijaga bahkan wajib dibiarkan, ada juga yang diperintahkan untuk dihilangkan.

Dengan demikian, ditinjau dari hukum Islam (fiqh), hukum rambut atau bulu manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian. Pertama. Rambut atau bulu yang harus dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan. Kedua. Rambut atau bulu yang boleh dihilangkan atau dibiarkan. Ketiga. Rambut atau bulu yang wajib dibiarkan dan tidak boleh dihilangkan.

RAMBUT ATAU BULU YANG WAJIB DIBIARKAN DAN TIDAK BOLEH DIHILANGKAN

1. Jenggot Bagi Laki-Laki
Banyak hadist shahih yang mengharamkan seorang laki-laki mencukur jenggotnya. Beberapa lafadz yang digunakan Rasulullah dalam memerintahkan agar laki-laki membiarkan jenggotnya, seperti وَأَعْفُوا اللِّحَى perbanyaklah/ perteballah jenggot), وَفِّرُوا اللُّحَى (perbanyaklah jenggot),
أَرْحُوْا اللُّحَ (biarkanlah jenggot memanjang) ,أَوْفُوْا اللُّحَى (sempurnakan/ biarkan jenggot tumbuh lebat). Semua lafadz tersebut bermakna perintah untuk membiarkan jenggot tumbuh dan lebat dan tidak boleh mencukurnya.[1]

Berikut ini lafadz-lafadz hadits di dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim yang memerintahkan untuk membiarkan jenggot.

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi was allam bersabda:

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى

"Tipiskanlah kumis dan perbanyaklah (perteballah) jenggot". [HR Bukhari].

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ

"Berbedalah dengan orang-orang musyrik dan perbanyaklah jenggot.” Abdullah bin Umar, apabila melakukan haji atau umrah, beliau menggenggam jenggotnya, apa yang lebih (dari genggaman)nya, beliau memotongnya" [HR Bukhari].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ

"Potonglah kumis dan biarkan jenggot memanjang. Berbedalah dengan orang Majusi". [HR Muslim].

Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى

"Berbedalah dengan orang-orang musyrikin. Tipiskan kumis dan biarkan jenggot tumbuh sempurna (panjang)". [HR Muslim].

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata,”Dengan demikian, berdasarkan beberapa hadits di atas, maka mencukur jenggot dan memotongnya adalah termasuk perbuatan dosa dan maksiat yang dapat mengurangi iman dan memperlemahnya, serta dikhawatirkan ditimpakan kemurkaan dan adzab Allah."

Beliau menekankan: “Di dalam hadits-hadits tersebut di atas, terdapat petunjuk bahwa memanjangkan kumis dan mencukur jenggot serta memotongnya, termasuk perbuatan menyerupai orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik. Padahal sudah diketahui, sikap meniru mereka merupakan perbuatan munkar yang tidak boleh dilakukan. Nabi bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka". [HR Abu Dawud].[2]

2. Rambut Alis Atau Mata.
Mencukur rambut alis atau mata termasuk perbuatan haram. Pelakunya dilaknat oleh Allah, terlebih lagi bagi wanita. Dari Abdullah, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ

"Allah melaknat wanita yang membuat tato dan yang minta dibuatkan (tato), yang mencukur alis dan yang meminta dicukurkan". [HR Muslim].

Mencukur alis atau menipiskannya, baik dilakukan oleh wanita yang belum menikah atau sudah menikah, dengan alasan mempercantik diri untuk suami atau lainnya tetap diharamkan, sekalipun disetujui oleh suaminya. Karena yang demikian termasuk merubah penciptaan Allah yang telah menciptakannya dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Dan telah datang ancaman yang keras serta laknat bagi pelakunya. Ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah haram.[3]

Adapun bila bulu alisnya terlalu panjang melebihi keadaan normal, atau ada beberapa helai yang tidak rata sehingga sangat mengganggu bagi diri wanita, maka memotongnya atau meratakannya dibolehkan oleh sebagian ulama, seperti Imam Ahmad dan Hasan Al Bashri. [4]

Sedangkan menghilangkan bulu di wajah (pipi), maka bila dilakukan dengan namsh yaitu menggunakan minqasy (alat pencungkil) hingga ke akar-akarnya, maka tidak boleh. Tetapi bila melakukannya dengan al huf, yaitu menghilangkan dengan silet atau pisau cukur, maka Imam Ahmad berkata: “Tidak mengapa bagi wanita, dan saya tidak menyukainya (dilakukan) laki-laki”. [5]

Imam Al ‘Aini lebih mengkhususkan bagi wanita yang sudah menikah, untuk mempercantik diri kepada suaminya, beliau berkata:

وَلاَ تُمْنَعُ الأَدْوِيَةُ الَّتِي تُزِيْلُ الْكَلْفَ وَتُحْسِنَ الْوَجْهَ لِلزَّوْجِ وَكَذَا أَخْذُ الشَّعْرِ مِنْهُ

"Maka tidak dilarang menggunakan obat yang bisa menghilangkan bulu dan mempercantik wajah untuk suami, begitu juga (tidak dilarang) mengambil rambut darinya (wajah)". [6]

Wanita Memakai Konde
Diharamkan bagi wanita memakai konde, dengan menyambung rambutnya dengan rambut orang lain atau rambut palsu. Pelakunya mendapatkan laknat, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَعَنَ اللهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ

"Allah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang minta disambung (dengan rambut lain), yang membuat tato dan yang minta dibuatkan tato". [HR Muslim].

Sebagian ulama membolehkan wanita menyambung rambutnya dengan selain rambut manusia. Misalnya, dengan rambut binatang, benang atau dari serat.

Imam Al Laits bin Sa’id berkata: “Sesungguhnya larangan menyambung rambut itu khusus menyambung dengan rambut. Tidak mengapa seorang wanita menyambung rambutnya dengan wol atau kain”.[7]

Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata:

لاَبَأْسَ بِالْقَرَامِلِ

"Tidak mengapa (menyambung rambut) dengan qaramil (sejenis tumbuhan yang batangnya sangat lunak)".

Fairuz Abadi berkata,"Sa’id bin Jubair berpendapat, yang dilarang ialah menggunakan rambut manusia. Adapun bila menyambungnya dengan sobekan kain, atau benang sutera dan lainnya, maka tidak dilarang.” Al Khaththabi berkata,”Para ulama memberikan keringanan menggunakan qaramil, karena orang yang melihatnya tidak ragu, bahwa yang demikian itu palsu (bukan rambutnya yang asli)." [8]

Ibnu Qudamah berkata,”Yang diharamkan ialah menyambung rambut dengan rambut, karena terdapat tadlis (unsur penipuan) dan menggunakan sesuatu yang masih diperdebatkan kenajisannya. Adapun selain itu, maka tidak diharamkan, karena tidak mengandung makna ini (tadlis dan najis), juga adanya maslahah untuk mempercantik diri kepada suami dengan tidak mendatangkan madharat (bahaya)."[9]

Namun berdasarkan keumuman larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebaiknya seorang wanita tidak melakukan wishal (menyambung rambut). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَصِلَ الْمَرْأَةُ بِرَأْسِهَا شَيْئًا

"Rasulullah melarang wanita menyambung rambutnya dengan sesuatu". [HR Muslim].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا

"Dua golongan dari ahli neraka yang tidak pernah aku lihat: seorang yang membawa cemeti seperti ekor sapi yang dia memukul orang-orang, dan perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, berlenggok-lenggok, kepalanya bagaikan punuk onta yang bergoyang. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan baunya, sekalipun ia bisa didapatkan sejak perjalanan sekian dan sekian". [HR Muslim].

Imam An Nawawi menukil perkataan Imam Al Qurthubi yang berbunyi: "Rambut mereka diumpamakan seperti punuk onta, karena mereka mengangkat sanggul rambutnya ke bagian tengah kepalanya untuk menghias dirinya dan ia berpura-pura melakukan itu agar dianggap memiliki rambut yang lebat (panjang)".[10]

Seorang wanita tidak perlu merasa malu dengan rambutnya yang sedikit karena itu bagian dari karunia Allah. Ditambah lagi, itu juga tidak ada yang melihat, karena ia tutup dengan jilbab (hijab)nya. Adapun mengikat rambut dengan selain rambut, maka itu diperbolehkan.

Al Qadhi ‘Iyadh Al Maliki berkata, "Adapun mengikat rambut dengan sutera yang diberi warna dan lainnya yang tidak menyerupai rambut, maka tidaklah dilarang. Karena ia tidak termasuk wishal (menyambung) dan tidak bertujuan untuk itu. Itu hanya sekedar sebagai penghias." [11] Dan inilah yang dimaksud dengan menyambung rambut yang dibolehkan oleh para ulama di atas. Wallahu a’lam.

Hukum Menyemir Rambut
Menyemir rambut dibolehkan baik laki-laki maupun perempuan dengan syarat tidak menggunakan warna hitam. Demikian ini berdasarkan hadits riwayat dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata: Abu Quhafah, ayahnya Abu Bakar datang saat penaklukan kota Makkah. Rambut dan jenggot beliau telah memutih. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

"Rubahlah ini dengan sesuatu dan jauhilah warna hitam". [HR Muslim].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ

"Sesungguhnya Yahudi dan Nashrani tidak menyemir (rambutnya), maka berbedalah dengan mereka". [HR Muslim].

Anas berkata,"Saya melihat rambut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mahdhuban (disemir)."
Abu Hurairah pernah ditanya: Apakah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyemir rambutnya? Beliau menjawab,"Ya." [12]

Imam An Nawawi berkata,"Madzhab kami ialah dianjurkan untuk menyemir uban bagi laki-laki dan wanita dengan warna kuning atau merah, dan tidak menyemirnya dengan warna hitam berdasarkan hadits di atas." [13]

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,”Sebagian ulama ada yang memberikan keringanan (menyemir dengan hitam) ketika berjihad. Sebagian lagi memberikan keringanan secara mutlak. Yang lebih utama adalah hukumnya makruh. Bahkan Imam Nawawi menganggapnya makruh yang lebih dekat dengan haram. Sebagian ulama salaf memberikan keringanan (menyemir dengan hitam), Misalnya, seperti Sa’d bin Abi Waqqash, Uqbah bin Amir, Al Hasan, Al Husain, Jarir, dan lainnya. Inilah yang dipilih Ibnu Abi Ashim. Mereka membolehkan untuk wanita dan tidak untuk pria, inilah yang dipilih oleh Al Hulaimi. Ibnu Abi Ashim memahami dari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : ‘Jauhi warna hitam,’ karena menyemir dengan warna hitam merupakan tradisi mereka." [14]

Imam Ibnul Qayyim berkata,”Larangan menyemir rambut dengan warna hitam, bila dengan warna hitam pekat. Apabila tidak hitam pekat seperti mencampur antara katam (semir warna hitam) dengan hina (warna merah), maka tidak mengapa, karena akan membuat rambut menjadi merah kehitam-hitaman."

Terkadang menyemir dengan warna hitam dilarang bila ada unsur tadlis (penipuan), seperti wanita yang sudah tua menyemir rambutnya agar menarik orang yang meminangnya dan ingin menikahi dirinya, atau pria yang sudah tua agar tidak kelihatan ubanan sehingga memikat wanita yang ingin dinikahinya. Semiran semacam ini termasuk penipuan dan kebohongan yang dilarang. Apabila tidak ada unsur penipuan dan kedustaan, maka tidak mengapa. Telah ada riwayat shahih yang menjelaskan bahwa Al Hasan dan Al Husain menyemir rambutnya dengan warna hitam.[15]

Membaca penjelasan para ulama di atas, maka menyemir dengan warna hitam dibolehkan dengan syarat, yaitu tidak murni hitam tapi dicampur dengan warna lain, seperti merah atau kuning. Juga tidak boleh terdapat unsur penipuan dan pembohongan, agar dianggap lebih muda dan lainnya. Hukum ini berlaku bagi pria dan wanita, terutama yang sudah menikah.

Imam Ishaq berkata,"Wanita dibolehkan menyemir dengan warna hitam untuk mempercantik dirinya untuk suaminya." [16]

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah, beliau berkata: Isteri Utsman bin Mazh’un, dulunya menyemir (rambutnya) dan memakai wewangian kemudian meninggalkannya. Ia masuk menemui Aisyah dan ditanya,”Apakah Anda bersama suami atau tidak?” Ia berkata,”Bersama suami, tapi Utsman tidak menyukai dunia dan wanita.” Aisyah berkata,”Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk menemuiku, kemudian aku ceritakan semuanya.” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menemui Utsman dan bersabda,”WahaiUtsman, apakah Anda beriman sebagaimana kami beriman?” Utsman menjawab,”Ya, wahai Rasulullah.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Kenapa Anda tidak menjadikan kami sebagai teladan?!"

Asy Syaukani dalam menjelaskan hadits ini berkata: ”Pengingkaran Aisyah terhadap isteri Utsman yang meninggalkan semir dan parfum menunjukkan, bahwa wanita yang memiliki suami lebih baik baginya untuk berhias untuk suaminya dengan menyemir rambutnya dan memakai wewangian.[17]

Demikianlah, Allah menumbuhkan rambut (bulu) di badan manusia. Di antara rambut (bulu) tersebut ada yang diperintahkan untuk tetap dibiarkan dan dipelihara, namun ada juga yang diperintahkan untuk dihilangkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan tuntunan dalam menjaga atau menghilangkan rambut bulunya. Seorang mukmin dituntut untuk bisa mengikuti tuntunan tersebut, baik dalam membiarkan rambut (bulu)nya, atau ketika mencukur atau menghilangkannya. Karena ia ittiba’ (mengikuti) tuntunan Rasulullah, maka tindakannya tersebut bisa bernilai ibadah yang mendapatkan kecintaan dan ampunan Allah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun IX/1426/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari, Juz 12, hlm. 543.
[2]. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Fatwa-Fatwa Terkini : (1/172), Darul Haq Jakarta Th.1999
[3]. Syaikh Abdullah bin Jibrin, Fatawa Islamiyah : (3/200). Dar Al Qalam Beirut, 1408 H.
[4]. Imam An Nawawi, Al Majmu’ : (1:349).
[5]. Ibnu Qudamah, Al Mugni, (1/91).
[6]. Badruddin Abi Muhammad Mahmud bin Ahmad Al ‘Aini, Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari, (2/193), Ihya’ At Turats Al ‘Arabi Beirut, Tanpa tahun,.
[7]. Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari (10/375), Imam An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (14/104).
[8]. Fairuz Abadi, ‘Aunul Ma’buud, (11/228-229).
[9]. Ibnu Qudamah, Al Mughni, (1/94).
[10]. Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari (10/375).
[11]. Imam An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (14/104-105)
[12]. Muhammad bin Isa At Tirmidzi, Syama’il Al Muhammadiyah hlm. 26-27 Daar Ibn Hazm Beirut, 1418 H.
[13]. Imam An Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (14/80).
[14]. Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari, (10/354-355).
[15]. Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi Syarah Jami’ Tirmidzi, Kairo, Al Madani, Tanpa tahun, Juz 5, hlm. 442.
[16]. Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz 1, hlm. 92.
[17]. Asy Syaukani, Nailul Authar, Juz 6, hlm. 193-194.

0 komentar:

Posting Komentar