Abdullah bin Jahsy
(Wafat 3 H)
Abdullah bin Riab bin Yakmur adalah seorang sahabat asal dari suku Bani Asad, saudara kandung Zainab binti Jahsy, ummul mukminin. Ipar Rasulullah Shalalahu ‘alaihi Wassalam ini meninggal dalam perang Uhud.
Mereka bertanya tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah : ”Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) dari pada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al Baqarah : 217).
Menurut beberapa ahli tafsir, ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan Abdullah bin Jahsy.
Dalam Perang Uhud, kaum Quraisy laki-laki dan perempuan melakukan belas dendam terhadap kaum Muslimin atas kekalahan mereka dalam Perang Badar. Mereka bertindak seperti srigala buas, merobek-robek perut Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah, dan memakan hatinya. Abdullah bin Jahsy radhiallâhu ‘anhu ; mereka potong hidung dan daun telinganya.
Abdullah bin Jahsy radhiallâhu ‘anhu bangga sekali karena ia merupakan kepala pasukan pertama yang dilantik Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan komandan pasukan pertama yang menetapkan kemenangan perang 1/5 (seperlima) bagian untuk Rasulullah sebelum Allah mengukuhkannya.
Ayahnya adalah Jahsy bin Riab bin Khuzaimah al-Asadi, ibunya adalah Aminah binti Abdul Muththalib bin Hasyim, dan saudarinya adalah Zainab binti Jahsy, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Jadi, dia adalah saudara misan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ibunya, sekaligus iparnya.
Dia dilahirkan di Mekkah, dekat Baitullah al-Haram. Sesudah ia dewasa barulah tahu jalan ke Ka’bah. Ia berdiri lama di depan Ka’bah, mengamati jamaah haji yang datang berbondong-bondong dari seluruh pelosok dunia.
Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri isak tangis mereka, air mata sedih dan keharuan mereka, dan keluh kesah serta doa mereka di depan Ka’bah yang megah itu.
Berapa kali telinganya mendengarkan rintihan dan bisikan mereka dengan berbagai bahasa yang tidak dipahami maksud dan tujuannya. Pada saat itu, ia merebahkan dirinya di pangkuan ibunya menanyakan dengan penuh harap apa-apa yang dilihatnya.
Ibunya menjawabnya dengan penuh rasa kasih sayang sambil mengusap-usap kepalanya dan pundaknya hingga ia tertidur. Putranya itu lalu diselimuti dan didoakannya supaya Tuhan Ka’bah itu melindungi dan memeliharanya.
Pada suatu hari, ia datang kepada ibunya sambil menangis sedih. Ia menceritakan bahwa sekelompok orang telah meruntuhkan bangunan Ka’bah itu.
Ibunya menenangkan hatinya, menceritakan kepadanya bahwa mereka sedang memugar bangunan itu supaya emas perak dan permata mutumanikam yang ada di dalamnya tidak dicuri orang akibat kerusakan yang ditimbulkan banjir.
Pada waktu itu, Abdullah melihat bagaimana persaingan keras antara para kabilah Arab yang berebutan ingin meletakkan Hajar Aswad di tempatnya, hingga hampir terjadi pertengkaran dan peperangan antara mereka.
Untunglah, akhirnya, mereka menerima gagasan sesepuh mereka untuk menyerahkan hal itu kepada orang yang pertama kali masuk ke Baitullah esok paginya, untuk menetapkan kabilah mana yang mendapat kehormatan meletakkannya.
Ternyata, orang yang masuk pertama itu Muhammad al-Amin, yang kemudian ia menggelarkan mantelnya dan meletakkan Hajar Aswad itu di tengahnya, lalu ia perintahkan kepada semua wakil kabilah yang hadir untuk memegang ujung mantel itu dan mengangkatnya ke dekat tempatnya, lalu ia mengangkat dengan tangannya dan menaruh di tempatnya.
Sesudah Hajar al-Aswad diletakkan di tempatnya, para pekerja meneruskan pekerjaannya memperbaiki Ka’bah.
Sejak saat itulah, Abdullah mencintai Muhammad al-Amin dengan sepenuh hati dan mengagumi kebijaksanaannya memecahkan masalah yang hampir menimbulkan pertumpahan darah diantara kabilah Arab, dan caranya yang cerdik menyertakan semua kabilah ikut merasa mendapat kehormatan mengangkat Hajar al-Aswad ke tempatnya. Sejak itulah, ia menjadikan Muhammad sebagai tokoh favorit dan panutannya.
Setiap hari, Abdullah berusaha menyertai dan duduk-duduk dengan Muhammad untuk belajar lebih banyak tentang berbagai hal, baik melalui tutur katanya maupun melalui tingkah lakunya.
Pada suatu hari, Abdullah tidak melihat Muhammad al-Amin seperti biasanya. Ia tidak sabar menantinya, ia pergi mengetuk pintu rumahnya. Istri beliau memberitahukan bahwa beliau ada di Gua Hira.
Ia pulang ke rumahnya dengan kecewa dan sedih karena rasa rindunya kepada laki-laki pujaannya itu. Kapan gerangan ia kembali duduk-duduk bersamanya lagi?.
Pada suatu pagi yang membahagiakan, menjelang fajar menyingsing, dimana embusan angin membawa titik-titik embun yang membangkitkan kehidupan dan kesegaran, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sedang sujud di tempat shalatnya, memuja dan memuji Tuhannya, tiba-tiba ia mendengar seperti gemerincing suara bel, kemudian malaikat Jibril menyampaikan wahyu dan perintah Tuhan, “Dan, berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”. (QS Asy-Syu’ara : 214)
Sang surya sudah menampakkan wajahnya yang perkasa dan memancarkan cahayanya, menghalau sisa titik-titik embun yang masih ada diatas daun. Sementara itu, Muhammad al-Amin melangkahkan kakinya menuju Bukit Shafa, tidak jauh dari Ka’bah, lalu teriaknya, “selamat pagi, selamat pagi”.
Abdullah masih telentang diatas tempat tidurnya, matanya terbuka lebar, sambil berpikir untuk menemui Muhammad al-Amin di Gua Hira, seperti yang dikabarkan isteri beliau, Khadijah. Tiba-tiba, ia mendengar kumandang suara Muhammad, “selamat pagi, selamat pagi” dari atas bukit Shafa, tidak jauh dari rumahnya. Ia lalu melemparkan selimutnya dan pergi ke sana.
Tampaknya, suara itu berhasil mengumpulkan kaum Quraisy; semuanya berdatangan ingin tahu ada apa sepagi itu mereka diundang.
Sesudah mereka berkumpul, mulailah beliau menyeru mereka, “Hai keluarga Ghalib, keluarga Luai, keluarga Murrah, keluarga Kilab, keluarga Qushai, dan keluarga Abdu Manaf! Kalau aku memberitahukan kepada kalian bahwa di balik gunung itu ada musuh yang hendak menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?”.
Mereka menjawab serentak, “Ya, karena kau tidak pernah berbohong kepada kami”.
Rasulullah melanjutkan, “Maka, janganlah kamu menyeru (menyembah) tuhan yang lain disamping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diazab. Dan, berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan rendahkan dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”. (QS Asy-Syu’araa’ : 213-215).
Kerumunan orang itu lalu bubar. Ada yang percaya dan ada yang tidak, masing-masing membela argumentasi dan kebenarannya.
Sementara itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pulang kembali ke rumahnya. Abdullah pun kembali juga dengan membawa kata-kata baru yang dilontarkan Muhammad al-Amin itu. Ternyata, kata-katanya meyakinkan kalbunya, lalu ia pergi menyusul Muhammad ke rumahnya dan meyatakan keislamannya di sana.
Sesudah ia mengucapkan kalimat syahadat, lalu ia mengajak kedua saudara perempuannya masuk Islam juga dan ternyata mereka mengikuti jejaknya, malah ia menjadikan salah sebuah ruangan dalam rumahnya sebagai mushalla untuk beribadah dengan tekun dan khusyu’ kepada Allah Ta’ala.
Akan tetapi, Quraisy telah menunggangi kepalanya sendiri. Ia memaklumatkan perang tanpa ampun terhadap dakwah itu dan bertindak kejam dan keji terhadap para mustadh’afin yang berani mengikuti ajaran Muhammad termasuk juga Abdullah.
Beberapa orang mustadh’afin datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan meminta supaya Allah meringankan beban yang mereka derita. Dengan agak gusar, Rasulullah bersabda: “Demi Allah, orang-orang sebelum kalian ditangkap dan tubuhnya dibelah dua, namun mereka tidak bergeser dari agamanya sedikitpun. Ada lagi yang tubuhnya disisir dengan sisir besi diantara tulang dan dagingnya, tetapi hal itu tidak memaksa mereka beralih agama. Hal ini akan berjalan terus hingga para musafir dari Shan’a’ ke Hadramaut tidak merasa gentar lagi selain kepada Allah atau para gembala tidak takut lagi kepada ternaknya dari terkaman srigala, tetapi memanglah kalian suatu kaum yang terburu nafsu”.
Penyiksaan Quraisy makin ganas dan kejam. Abu Jahal menyiksa dan menganiaya Sumayyah, ibu Ammar radhiallâhu ‘anhu hingga tewas, begitu pula suaminya, Yasir dan puteranya, Ammar.
Sudah tentu berita itu menimbulkan rasa ngeri dan gelisah pada kaum mustadh’afin karena mereka tidak diperkenankan memaklumatkan perang terhadap kaum mustakbirin itu. Apa yang harus mereka lakukan sedangkan kaum kafir Quraisy tidak henti- hentinya melakukan tindakan penindasan dan perang permusuhan?.
Mereka berkumpul dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta dicarikan jalan pemecahan dari ancaman dan terkaman orang-orang ganas dan buas yang tidak berprikemanusiaan itu.
Pada saat itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengemukakan gagasannya : “Kalau kalian mau hijrah ke negeri Habasyah, disana terdapat seorang raja yang tidak berlaku zhalim kepada siapapun, dialah negeri kejujuran hingga Allah membukakan kelapangan dari keadaan kalian dewasa ini”.
Kini, mereka diperkenankan melakukan hijrah, menyelamatkan diri dan agamanya ke negeri yang lebih aman agar bisa menunaikan ibadahnya dengan bebas dan tenang.
Pada waktu itu, Abdullah dan kedua saudara laki-lakinya serta kedua saudara perempuannya, bahkan dengan semua anggota keluarganya, pergi hijrah ke negeri yang dimaksudkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai negeri kejujuran, yang rajanya tidak pernah berlaku zhalim itu.
Amr ibnul Ash radhiallâhu ‘anhu berkisah, “pada suatu hari, aku duduk di Majelis an-Najasyi, Raja Habasyah, lalu masuklah Amr bin Umayyah adh-Dhamari. Pada waktu itu, ia sedang membawa surat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Raja Habasyah itu. Sesudah ia keluar, aku berkata kepada Najasyi, ‘orang itu perutusan musuh kami. Ia yang telah menegangkan situasi dan membuat tokoh-tokoh kami setengah mati. Serahkanlah dia kepada kami, kami akan membunuhnya’.
Ia gusar sekali atas omongan itu, lalu ia memukul mukaku dengan keras hingga terasa hidungku seakan-akan copot dan mengucurkan darah banyak sekali ke bajuku. Aku merasa terhina sekali di tengah-tengah majelis itu. Rasanya, aku lebih rela mati terkubur dalam tanah daripada menderita malu serupa itu.
Untuk melunakkan amarahnya, aku berkata lagi, "Kalau aku tahu baginda akan murka seperti ini, aku tidak akan mengajukan permintaan seperti itu".
"Ya Amr, kau meminta kepadaku supaya aku menyerahkan perutusan orang yang mendapatkan Namus yang maha besar, yang pernah datang kepada Musa ‘alaihissalam dan ‘Isa ‘alaihissalam. Kau meminta aku menyerahkan perutusannya untuk dibunuh? “.
“Sejak saat itu,” kata Amr selanjutnya,
Dalam hati kecilku terjadi perubahan sikap, lalu kataku dalam hati, "Bangsa Arab dan ‘Ajam/asing mengenal kebenaran ini sedangkan kau akan melawannya". Aku kemudian bertannya kepadanya, "Apakah yang mulia percaya atas hal itu?".
"Ya, Aku bersaksi di hadapan Allah, wahai Amr! Percayalah kepadaku, dia adalah benar, dia akan dimenangkan atas orang yang melawannya, seperti halnya Musa ‘alaihissalam dimenangkan melawan Fir’aun dan pasukannya".
"Apakah yang mulia mau menerima bai’atku masuk Islam atas namanya?".
"Ya!, ia lalu mengulurkan tangannya membai’atku masuk Islam".
Abdullah dan keluarganya hidup di negeri Habasyah dalam perlindungan raja yang murah hati itu hingga datang berita yang mengatakan bahwa kaum Quraisy sudah sadar dan masuk Islam, lalu Abdullah dan beberapa orang Muhajirin lainnya kembali ke Mekkah.
Ternyata, berita Islamnya kaum Quraisy itu hanyalah isapan jempol yang disebarluaskan Quraisy supaya para Muhajirin itu kembali untuk menghadapi siksaan dan penganiayaan yang baru lagi.
Abdullah dan keluarganya tinggal beberapa saat lamanya di Mekkah hingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan melakukan hijrah kembali sehingga rumah mereka di Mekkah kosong melompong, tidak ada yang menghuninya. Sesudah Abu Sufyan melihat hal ini, lalu ia menawarkan dan menjualnya. Sesudah berita itu terdengar oleh keluarga Jahsy, Abdullah memberitahukan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah lalu menjawab, “Wahai Abdullah! Apakah kau tidak mau Allah menggantimu dengan sebuah rumah yang lebih baik di surga?”.
“Sudah tentu mau,” sahut Abdullah bin Jahsy.Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan, “Nah, itu untukmu kelak”.
Sesudah kota Mekkah ditaklukkan, Abu Ahmad, saudara Abdullah bin Jahsy, datang membicarakan lagi soal rumah-rumah keluarga Jahsy yang dijual oleh Abu Sufyan itu, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengulur-ulur masalah itu. Beberapa orang lalu memberi keterangan, ”Wahai Abu Ahmad, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak suka membahas kembali kekayaan yang dirampas dari kalian demi karena Allah”.
Sejak itulah, ia tidak mau lagi mengungkit-ungkit soal tersebut.Abdullah bin Jahsy merupakan komandan pasukan pertama yang dikirimkan ke perbatasan kota Mekkah sehingga menimbulkan kontak senjata dan meninggalnya Amru al-Hadhrami serta tertawannya Utsman bin Abdullah bin al-Mughirah dan al-Hakam bin Kisan, yang menimbulkan kegusaran kaum Quraisy. Mereka berkata: “Muhammad dan kawan-kawannya menghalalkan bulan haram”.
Abdullah mengikuti Perang Badar dan semua peristiwa sesudahnya bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga Perang Uhud yang rupanya Allah Ta’ala ingin menguji kaum muslimin. Abdullah bin Ubay, kepala kaum munafiqin di Madinah, kembali ke Madinah di tengah perjalanan dengan 1/3 pasukan, tetapi kaum Muslimin mendesak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap keluar dari Madinah.
Sebelum perang dimulai, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di sebuah pondok yang dibikin khusus baginya.
Ummu Salamah datang memberikan daging panggang kepada Rasulullah, lalu dimakannya. Ia lalu memberikan air anggur, lalu diminumnya. Salah seorang yang hadir lalu meminumnya dan sisanya diminum oleh Abdullah bin Jahsy. Salah seorang bertanya kepadanya, “Tahukah kau, kemana perginya minumanmu itu esok?”.
“Ya, aku lebih suka menemui Allah dalam keadaan puas daripada dalam keadaan dahaga,” jawabnya seraya berdoa, “Ya Allah, aku mohon supaya aku memperoleh syahadah dalam jalanMu”.
Menurut putera Sa’ad bin Abi Waqqash, ayahnya berkata,”pada waktu itu, sebelum Perang Uhud berkobar, Abdullah bin Jahsy bertanya, "Apakah tidak sebaiknya kami berdoa kepada Allah?”.
Mereka masing-masing berdoa. Sa’ad berdoa, ”Ya Allah, kalau kami bertemu musuh esok hari, pertemukanlah aku dengan seorang yang bertenaga kuat dan beremosi tinggi. Saya akan membunuhnya dan merampas miliknya”.
Abdullah bin Jahsy berdoa, ”Ya Allah, pertemukanlah aku esok dengan seorang yang kuat tenaganya dan tinggi emosinya. Aku akan membunuhnya karenaMu, lalu orang itu membunuhku, kemudian ia memotong hidung dan kedua telingaku." Apabila engkau bertanya kepadaku kelak, "Ya Abdullah, mengapa hidung dan telingamu itu?". Aku akan menjawab, "Ia dipotong oleh orang karenaMu dan karena RasulMu semata-mata, Ya Allah". Engkau lalu berfirman, "Benar kau, Abdullah“.
Selanjutnya, Sa’ad bin Abi waqqash berkata, “Ternyata doa Abdullah bin Jahsy lebih baiik dari doaku. Pada keesokan harinya, menjelang hari berakhir, aku melihat kedua daun telinganya dan ujung hidungnya bergantung dengan seutas tali”.
Begitulah cita-cita dan dambaan pengikut Muhammad berebut maju dalam medan perang, ingin mendapatkan salah satu diantara dua kebaikan; meninggikan kalimat Allah dan memenangkan agamaNya atau mati syahid.
Ternyata, doa mereka dikabulkan Allah Ta’ala, cita-citanya dipenuhi sesuai dengan firmanNya, “Berdoalah kepadaKu niscaya Aku akan memperkenankan bagimu”. (QS al-Mukmin : 60)
Allah Ta’ala sudah mengabulkan doa Abdullah bin Jahsy radhiallâhu ‘anhu dan sudah berkenan menerimanya di sisiNya karena ia sudah menunaikan tugas kewajibannya dengan baik terhadap Tuhan, agama dan Rasulnya. Jadi, fungsinya dinyatakan selesai dan takdirNya sudah jatuh tempo. Akan tetapi, misi Sa’ad bin Abi Waqqash belum selesai, tugas kewajiban yang menantinya masih banyak dan panjang, menunggu penanganannya.
Seusai Perang Uhud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menguburkan jenazah pamannya, Hamzah dan Abdullah dalam satu kubur dan memerintahkan Amru ibnul Jumuh dan Abdullah bin Umar bin Haram juga dalam satu kubur karena keduanya kawan karib di dunia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Aku menjadi saksi mereka bahwa tidak terdapat luka di jalan Allah melainkan Allah akan melahirkan kembali lukanya itu berdarah di hari kiamat; warnanya seperti warna darah dan baunya seperti bau misk (kesturi)”.
Sebab Turunnya Ayat
Menurut keterangan Ahli Tafsir (mufassirin), pada bulan Jumadil Akhir dua bulan sebelum Perang Badar berkobar, kira-kira tujuh belas bulan sesudah hijrah ke Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirimkan delapan orang Muhajirin dibawah pimpinan Abdullah bin Jahsy dengan pesan, “Pergilah kau dengan Asma Allah dan janganlah kau buka suratku ini hingga engkau berjalan selama dua hari. Sesudah menempuh jarak itu barulah kau buka suratku itu dan bacakan kepada kawan-kawanmu. Setelah itu, teruskan perjalananmu sesuai perintahku. Janganlah ada diantara kawan-kawanmu itu yang pergi mengikuti karena dipaksa (terpaksa)”.
Abdullah bin Jahsy berjalan selama dua hari, kemudian ia berhenti dan membuka surat Rasulullah itu.
“Bismillaahr-ahmaanirahiim. Amma ba’du, pergilah kau dengan kawan-kawan yang menyertaimu disertai keberkahan dari Allah hingga kau mencapai sebuah kebun kurma. Dari sana, kau bisa mengintai kegiatan kafilah Quraisy, lalu kau kembali membawa berita mereka”.
Sesudah membaca isi surat itu, Abdullah berkata : ”Sam’an wa thaa ‘atan, aku mendengar dan patuh kepada perintahmu”, lalu berkata kepada para pengikutnya, “Rasulullah melarang saya memaksa kalian ikut dalam misi ini”.
Rombongan ini berjalan atas perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan dengan perlindungan Allah Ta’ala. Di suatu tempat bernama Bahran, Sa’ad bin Abi Waqqash dan Utbah bin Ghazwan kehilangan ontanya. Keduanya pergi mencari ontanya itu hingga tertinggal oleh rombongannya. Abdullah bin Jahsy meneruskan perjalanannya sesuai petunjuk Rasulullah hingga mencapai sebuah perkebunan kurma. Tiba-tiba, mereka melihat kafilah Quraisy dikawal oleh Amru ibnul Hadhrami, Utsman ibnul Mughirah, dan saudaranya Naufal dan al-Hakam bin Kisan.
Para shahabat itu bermusyawarah tentang mereka. Salah seorang berkata, “Kalau kalian membiarkan mereka pergi malam ini, mereka akan memasuki Tanah Haram dan kalian tidak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi, kalau kalian memerangi mereka, kita ada dalam bulan haram?”. Pada waktu itu, mereka ada di akhir bulan Rajab.
Mereka ragu-ragu dan takut menindaknya. Tapi akhirnya, mereka memberanikan dan memutuskan untuk memeranginya dengan sekuat-kuatnya. Salah seorang dari shahabat itu lalu melepaskan anak panah kepada Amru ibnul Hadhrami dan tewaslah ia seketika. Mereka berhasil menawan Utsman ibnul Mughirah dan al-Hakam bin Kisan, sedangkan Naufal dan saudaranya Utsman, berhasil melarikan diri.
Menurut keterangan sebagian keluarga Abdullah bin Jahsy, pada waktu itu, Abdullah mengatakan kepada para shahabatnya itu, “Dua puluh persen dari kemenangan yang kita peroleh ini untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sisanya dibagi diantara kita”. Ini terjadi sebelum ketetapan 20% itu dikukuhkan oleh al-Qur’an.
Sesampainya rombongan di Madinah, Rasulullah bersabda kepada mereka, “Aku tidak memerintahkan kalian mengadakan peperangan di bulan haram”, seraya menolak untuk mengambil bagiannya dari hasil kemenangan itu.
Abdullah bin Jahsy dan para shahabatnya bersedih hati karena telah bertindak di luar perintah. Lebih-lebih, setelah semua shahabat Rasulullah menyesalkan tindakannya itu. Belum lagi kampanye Quraisy yang diembus-embuskan dengan gencar, “Muhammad dan shahabatnya menghalalkan pertumpahan darah, perampasan hak milik dan penawanan orang di bulan haram”.
Sesudah bicara orang dipusatkan pada soal itu, keputusan langit turun untuk mengesahkan dan sekaligus mengukuhkan tindakan Abdullah bin Jahsy dan kawan-kawannya itu, “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram". Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjid Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah . Dan, berbuat fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu ia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
Ibnu Ishaq berkata, “Sesudah ayat tersebut turun, legalah Abdullah dan kawan-kawannya, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mau menerima tawanan dan hasil rampasan perang itu. Setelah itu, datang perutusan dari kaum Quraisy untuk menebus Utsman dan al-Hakam bin Kisan." Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada perutusan itu, “Kami tidak akan menerima tebusan keduanya hingga shahabat kami datang, yakni: Sa’ad bin Abi Waqqash dan Utbah bin Ghazwan. Kami khawatir, kalian telah menangkap keduanya. Kalau kalian membunuh keduanya, kami juga akan membunuh shahabat kalian”.
Tak lama, Sa’ad dan Utbah datang, lalu Rasulullah menyerahkan kedua tawanan itu kepada perutusan Quraisy itu.
Al-Hakam bin Kisan kemudian masuk Islam dengan baik dan tinggal bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hingga syahid pada peristiwa Bi’ir Ma’unah. Utsman pulang kembali ke Mekkah dan mati dalam keadaan kafir. Adapun Naufal terjatuh bersama kudanya ke dalam lubang parit (khandaq ) sehingga tewas tertumbuk batu. Kaum Musyrikin meminta mayatnya dengan imbalan uang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Bawalah, karena mayatnya buruk dan tebusannya buruk”.
Renungan Di sebelah Baitullah al-Haram, rumah yang Allah jadikan daerah aman dan damai bagi hamba-hambaNya, menyambut doa bapak para nabi, Ibrahim ‘alaihissalam , “Ya Tuhan, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa”. (QS al-Baqarah : 126). Di sana, Asma’, ibu Ammar dan Yasir, ayahnya, dibunuh dengan keji dan kejam, bukan karena berdosa tapi semata-mata karena keduanya menyatakan “Tuhan kami hanya Allah”.
Di daerah yang Allah tetapkan sebagai daerah aman dan damai secara mutlak dari semua sengketa, peperangan dan pertengkaran, supaya mereka kembali sadar dan menginsafi apa yang tepat dan benar, hidup bersaudara dan berdampingan di dalam daerah itu, oleh kaum Quraisy dijadikan ajang pembunuhan sekelompok orang yang tiada berdaya dan berdosa.
Mereka dipaksa keluar dan menyimpang dari agamanya. Mereka dilarang mengikuti pelajaran yang diberikan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah sudah menetapkan bahwa daerah Masjid al-Haram dan sekitarnya itu semacam daerah margasatwa, dimana burung-burung bebas beterbangan tanpa rasa takut, dimana hewan, manusia dan bahkan serangga bisa hidup berdampingan secara aman dan damai tanpa rasa takut satu dengan yang lainnya. Mengapa negeri yang telah ditetapkan menjadi daerah aman dan damai berubah menjadi daerah yang menakutkan dan penuh kengerian. Daerah bebas merdeka itu berganti menjadi daerah perbudakan, dimana kebebasan orang memilih agama dan hak mengamalkan keyakinannya dibatasi dan dihalang-halangi.
Menyambut seruan agama tauhid yang dikumandangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dicap sebagai kafir dan murtad karena keluar dari agama nenek moyang yang percaya kepada berhala-berhala ; Latta, ‘Uzza dan Manat yang dideretkan di sekitar Ka’bah.
Allah telah menetapkan haram (suci)nya rumah itu sejak Ibrahim dan putranya Ismail ‘alaihissalam membangunnya. Sejak saat itulah, Allah telah menetapkan daerah itu aman bagi semua orang dan sekalgus daerah haram mengadakan peperangan dan pembunuhan.
“(Dan) ingatlah ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman…”. (QS al-Baqarah : 125)
Rahmat dan nikmat yang dikaruniakan Alah kepada hambaNya itu oleh kaum Quraisy disulap bagi kaum mustadh’afin di daerah aman dan damai itu. Mereka dikejar dan disiksa, agamanya diejek dan dihina, keluarganya diganggu dan dianiaya.
Alasan Palsu Mereka Diungkapkan oleh Al-Qur’an
“…jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu niscaya kami akan diusir dari negeri kami…”. (QS al-Qashash : 57)
Siapa selain mereka yang mampu melakukan tindak kejahatan di daerah itu? Siapa yang berani melanggar haram Allah seperti mereka?.
Memang pernah terjadi, Abrahah dengan pasukan gajahnya hendak menghancurkan Baitullah al-Haram itu. Ia dengan sombonnya datang sampai di pinggiran kota Mekkah. Semua nasehat dan peringatan orang tidak diindahkan. Kaum Quraisy tahu apa yang dikehendaki Abrahah. Mereka juga tahu kekeuatan pasukan Abrahah. Maka dari itu, mereka tidak berpikir hendak melindungi Ka’bah dari serangannya. Mereka melarikan diri ke luar kota Mekkah.
Abrahah kaget melihat sikap kaum Quraisy yang membiarkan kotanya terbuka, tidak dipertahankan sedikitpun. Malah, ia merasa heran ketika Abdul Muththalib, sesepuh kota Mekkah, datang menghadapnya untuk meminta ontanya dikembalikan dan tidak berbicara soal Baitullah sama sekali, hanya menjawab dengan jawaban yang tersohor itu, “onta itu milik saya sedangkan al-Bait itu ada Pemiliknya yang nanti akan melindunginya!”.
Tak salah lagi dugaan Abdul Muthathlib, Tuhan al-Bait itu telah melindunginya dari serangan Abrahah dan pasukannya. Mereka yang hendak berbuat onar, hendak mengeruhkan suasana aman dan damai di daerah haram itu, dihukum.
“Dan, Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”. (QS. al-Fiil : 3-5).
Kepandaian mereka bersilat lidah, “Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu niscaya kami akan diusir dari negeri kami”, langsung dipatahkan dengan firmanNya, “Dan, apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rezeki (bagimu) dari sisi Kami? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS al-Qashash : 57).
Disamping menjadikan Mekkah sebagai daerah damai, Allah Ta’ala juga menjadikannya bulan-bulan haram sebagai masa-masa damai, tetapi bangsa Arab mempermainkan bulan-bulan itu sesuai dengan selera dan nafsu mereka. Adakalanya dipercepat dengan fatwa pimpinan agama atau kabilahnya yang kuat dari tahun ke tahun.
Sesudah Islam datang, ia menetapkan dengan tegas bahwa penundaan percepatan, dan perubahan dari ketetapan Allah itu hukumnya kafir, batil dan sesat,
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkan pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Setan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan, Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (QS at-Taubah : 37) .
Jelaslah bahwa kaum Quraisy yang pertama merusak kelestarian daerah damai itu. Mereka mempermainkan pantangan pada bulan-bulan itu. Kaum Muslimin dijadikan bulan-bulanan karena agamanya; mereka dikejar-kejar, disiksa, diananiaya, dipecuti, dijemur diterik padang pasir, dan bahkan ada yang dibunuh karena tidak mau murtad dari Islamnya. Mereka lebih suka pergi berhijrah sesudah izin dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meninggalkan tanah air tercintanya, meninggalkan semua harta milik yang diperoleh dari hasil jerih payah seumur hidup, demi mempertahankan iman dan tauhidnya.
Sudah tentu kaum Muslimin akan menuntut balas kapan pun dan dimana pun terhadap gerombolan penjahat yang sesat itu. Tidak heran kalau luapan itu diledakkan oleh pasukan yang dipimpin Abdullah bin Jahsy sehingga menimbulkan korban tewas dan beberapa orang tertawan di kalangan Quraisy, seperti diutarakan di awal pembahasan.
Oleh kaum Quraisy, kejadian itu dimanfaatkan menarik simpati kabilah Arab dan sekaligus untuk memecah-belah barisan kaum Muslimin. Mereka menghasut bahwa pengikut Muhammad telah merobek-robek kehormatan bulan-bulan haram. Kampanye lihai mereka hampir berhasil memecah-belah barisan kaum Muslimin. Untunglah keputusan langit cepat turun, mengingatkan kaum Muslimin supaya tetap memelihara persatuan dan kesatuannya, dan supaya tidak menganggap remeh tindak-tanduk dan fitnah lawan-lawannya itu.
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram". Katakanlah, "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar, tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (mengahalangi masuk ke) Masjid al-Haram, dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan, berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu ia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (al-Baqarah : 217) .
Demikianlah berita wahyu itu mengungkapkan tampang kaum Quraisy yang sebenarnya, bagaimana taktik dan strategi mereka menghadapi kaum Muslimin, mereka akan berusaha sekuat-kuatnya dengan segala cara, legal atau ilegal, halal atau haram, memaksa mereka menjadi kafir kembali.
Akan tetapi, kehendak Allah sudah menetapkan umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang konsekuen menjalankan ajaran agamanya akan dijadikan pemimpin dunia seluruhnya.
“Dan, demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasulullah (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu..”. (QS al-Baqarah : 143).
Memang secara keseluruhan, mental dan moral jamaah Islam dapat menahan diri dan menghindarkan diri dari godaan duniawi, menyambut dengan patuh titah peritah Allah Ta’ala, tidak melakukan penyerangan terhadap mereka yang telah mengusir keluar dari tanah airnya, yang merampas harta bendanya, dan yang tidak memperkenankan menunaikan manasik haji di Baitullah al-Haram. Mereka merasa gusar dan marah dalam hati atas sikap lawan-lawannya itu, namun mereka harus mampu menahan diri sesuai dengan petunjuk agamanya.
“…Dan, janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah sesungguhnya Allah amat berat siksaNya”. (QS al-Maidah : 2).
Kaum Muslimin menyambut dengan lapang dada dan sukacita ajaran yang digariskan langit itu. Mereka memelihara persatuannya, memadu kegiatannya, menaburkan bibit kebaikan dan ketakwaan dan menumpas kuman-kuman dan permusuhan. Dalam sekejap saja, dunai menyambut mereka bagai pemimpin dan guru dunia. Akan tetapi, mengapa cucu-cucu mereka kini berpaling hanya menjadi pengekor?. Bagaimana mereka telah menghilangkan landasan hidup yang mereka rintiskan? Allahumma ihdi qaumi. Wallâhu a’lam .
Sumber : - Sirah Shahabiah Nabi, karya Mahmud Mahdi al-Istanbuly. |
0 komentar:
Posting Komentar